Photobucket

Selasa, November 17, 2009

Bursa Pariwisata

Sumut Tak Masuk Bursa Kemitraan Usaha Pariwisata Indonesia?


Ada yang menarik, dalam arti mengagetkan, ketika penulis membaca satu reportase atau laporan resmi yang tertuang dalam bentuk buku dengan judul: ‘Kemitraan Usaha Pariwisata’ yang diterbitkan Direktorat Jenderal Pariwisata Departemen Pariwisata dan Seni Budaya (Ditjenpar Deparsenibud) dan Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada (UGM) edisi 1999/2000 silam (hampir 10 tahun lalu, memang). Pasalnya, daerah Sumatera Utara ternyata, dan entah kenapa, sama sekali tak tertera sebagai salah satu destinasi wisata yang ‘diperhitungkan’ di situ.

Lalu, setelah masa pemerintahan di sektor pariwisata negeri ini kemudian berubah atau berkembang dengan nama Departemen Pariwisata & Budatya (Deparbud) RI, buku yang terdiri dari dua edisi (Laporan Pertama dan Laporan Kedua) itu ternyata tak berlanjut. Padahal, ada harapan, siapa tahu Sumut termasuk atau tertera pada literatur ke tiga.

“Lihat ini, yang masuk adalah Bali, DKI Jakarta, DI Yogyakarta, dan pada buku ke-2 tentang Kemitraan Usaha Pariwisata itu malah Jawa Barat dan Sumatera Barat. Sumut malah tak masuk bursa kemitraan usaha pariwisata, paling tidak dalam agenda 10 tahun berlalu. Padahal, Sumut memiliki potensi ekonomi yang tinggi sebagai kandidat kemitraan usaha di sektor pariwisata. Bayangkan, hampir Rp 10 triliun dari total Rp 80-an triliun dana yang terhimpun perbankan Sumut pada 2007 lalu, kini ‘menganggur’ sebagai dana parkir di bank itu.

Kalaulah 10 persennya saja (dari yang Rp 10 triliun itu) bisa disalurkan sebagai kredit modal usaha pariwisata… apa masuk akal kalau tak ada yang mau bermitra dengan daerah ini…?” ungkap Ir Jonathan Ikuten Tarigan, konsultan pariwisata di Sumut, kepada SIB, sembari menunjukkan buku tersebut, yang masing-masing berisikan 6 bab pada Buku-1 dan 5 bab pada Buku-2 edisi November 1999.

Padahal, ujar Jonathan, fakta bahwa Sumut dulunya masuk dalam 10 besar daerah tujuan wisata (DTW) utama di Indonesia, sudah merupakan resultante logis tentang aspek sosio-ekonomi pariwisata yang otomatis akan bahkan harus diperhitungkan sebagai kandidat atau nominator kemitraan usaha pariwisata. Wajar bila kemudian timbul pertanyaan bernada curiga, kenapa Sumut dengan 11 objek wisata unggulan itu tak masuk bursa…?

TERABAIKAN, ATAU DIABAIKAN..?
Kondisi ini agaknya luput dari perhatian dan pandangan banyak pihak, khususnya para praktisi bisnis pariwisata di Sumut sendiri, dan mungkin juga bagi pihak pemerintah daerah (Pemda) selama ini yang memang terkesan kurang atau tidak peduli. Bayangkan, 10 tahun. Mungkin, kondisi yang terabaikan atau memang diabaikan itulah yang menyebabkan Sumut sempat hilang dari daftar 10 Destinasi Unggulan (istilah DTW sekarang), dan posisinya digantikan Sumbar. Sumut baru masuk kembali ke daftar destinasi unggulan setelah ada protes, itupun hanya tersisip dalam 20 Besar dengan SK Menbudbar Ir Jero Wacik pada 2006 lalu.

Apa yang ditunjukkan Jonathan, serta merta mengingatkan penulis akan program term of references (TOR) pariwisata Sumut yang dilakukan (ketika itu) Kepala Kanwil Departemen Pariwisata dan Pos Telekomunikasi (Deparpostel) Sumut Abdul Manan SH pada 1995 silam. Lima sampel objek wisata unggulan Sumut ketika itu dijajaki secara intensif sebagai pilot proyek kemitraan usaha yang bertujuan menggali dan meningkatkan produk-produk layak jual dan penambahan pendapatan perkapita masyarakat pariwisata maupun dunia usaha.

Kelima objek unggulan itu adalah Pulau Nias sebagai objek wisata olahraga (selancar/surfing) dan budaya dengan fokus Pantai Sorake-Lagundri dan desa kuno Bawomataluo dengan kordinator Clement HJ Gultom (pimpinan Borasparti Tavel Medan), Danau Toba sebagai objek wisata alam dan budaya dengan fokus pasar kerajinan di Tomok dan pusat seni budaya Simanindo dengan kordinator Dra Juliana Damanik, Bukit Lawang di Bohorok sebagai objek wisata karya (riset dan studi) dengan fokus hutan rehabilitasi orang utan yang dipimpin Drs Abdullah Wali dan Joe Nasroon, Kawasan beberapa kebun PTPN di Sumut sebagai objek agrowisata dengan fokus kebun sawit Bah Jambi, kebun karet Sei Rambutan dan kebun teh Sidamanik (Toba Sari) dengan kordinator Christoffel Manurung SH (terakhir Kadis Pariwisata Kota Medan), dan kota turis Berastagi sebagai objek wisata alam dan budaya dengan fokus pusat kerajinan gumbar (produk hasta karya dari bambu – Red) di desa tradisionil Lingga dan pasar buah Taman Mejuah-juah, di bawah pimpinan Drs Ng Rusia Sembiring, ketika itu Kabid Pemasaran Kanwil Deparpostel Sumut.

Ketika itu, sub-objek atau matrial layak jual dari Nias adalah paket lomba surfing yang semula dirancang reguler mulai dari perlombaan tingkat lokal, nasional, regional, hingga internasional. Selain itu, matrial lainnya adalah aneka kerajinan tangan berupa patung-patung mini atau duplikat tombak ‘Baluse’, aneka omamen berupa kursi hias atau miniatur rumah adat Nias dsb. Dari Parapat atau Danau Toba ditawarkan paket kesenian Batak ‘live show’ yang sempat diagendakan dijual ke luar negeri melalui maskapai nasional Garuda Indonesia ketika pimpinan distriknya di Medan dijabat Remedy S Ritonga. Selain itu, Danau Toba juga menawarkan aneka produk kerajinan tangan berupa kain tenunan ‘ulos’, ukir-ukiran ‘Gorga’, dsb.

Dari Bohorok ditawarkan paket wisata tualang (avonturisme) terutama ke Wisman Jerman dan Perancis. Dari Berastagi Tanah Karo ditawarkan paket serupa Parapat, plus paket suvenir terpadu berisikan sejumlah jenis produk kerajinan. Sejauh itu (ketika itu), hanya objek agrowisata dari Bah Jambi dan Sei Rambutan yang belum bisa menetapkan produk dengan alasan faktor kebijakan ‘atasan’ perkebunan BUMN itu. “Kelima daerah wisata andalan Sumut itulah yang semula ditetapkan atau ditawarkan dalam program kemitraan usaha pariwisata nasional. Tujuannya, agar para pelaku usaha pariwisata mulai dari pengelola sanggar, peserta atau pelaku tari, pengrajin lokal, pedagang buah, pelatih selancar di Nias, dsb, bisa memperoleh dukungan finansial atau kesempatan latihan dari pihak atau badan yang telah ditentukan berdasarkan bidangnya. Tapi, begitulah, program itu ternyata vakum begitu saja tanpa ada kabar lanjutnya”, ujar seorang pejabat di instansi pariwisata daerah ini, ketika dikonfirmasi ulang oleh SIB.

Padahal, katanya, semula juga telah dipersiapkan semacam tim untuk melakukan inventarisasi di lapangan. Misalnya, para pengelola sanggar dan penari aktif di Parapat atau Tanah Karo akan bermitra dengan kalangan pengusaha hotel dalam menyajikan paket hiburan seni-budaya secara rutin. Para pengrajin hasta karya di Nias atau Berastagi dan Parapat akan bermitra dengan kalangan pengusaha biro travel, misalnya para tamu Wisman yang datang ke Sumut akan langsung mendapatkan barang-barang gif atau suvenir selamat datang (wellcome gift) berupa minimatur rumah adat yang bisa difungsikan sebagai gantungan kunci, atau beberapa kain ulos yang disematkan kepada para pemimpin grup wisata.

Dengan konsep itu, misalnya, aneka produk wisata lokal bisa langsung laku tanpa harus menunggu transaksi konvensional publik. Soalnya, program kemitraan usaha pariwisata antara lain telah menetapkan sistem transaksi legal yang telah memasukkan harga suvenir di dalam harga atau biaya paket setiap perjalanan tur-nya. “Cukup matang sebenarnya konsep kemitraan itu. Tapi apakah karena programnya terabaikan (oleh pemerintah) atau diabaikan (oleh kalangan pariwisata sendiri), akhirnya Sumut tak masuk dalam bursa kemitraan usaha pariwisata di Indonesia. Jangan-jangan masih begitu juga saat ini. Padahal, ketika itu juga sudah dilirik potensi dana masyarakat yang bisa disalurkan dari pihak perbankan..”, ujar Jonathan bernada prihatin ketika mencermati kronologi konsep TOR pengembangan pariwisata daerah ini.

PRODUK LAYAK JUAL
Tanpa perlu mundur ke belakang, kenapa pariwisata Sumut ketika itu tak sampai ke tahapan: Kajian Pola Kemitraan Usaha, Uji Coba Pola Kemitraan Usaha Pariwisata, Kerangka Alur Kegiatan, dan Proses Pelaksanaan Kegiatan (sebagai tahapan proses kemitraan tersebut), agaknya hanya satu yang perlu ditegaskan di sini, bahwa Sumut masih tetap sarat dan memiliki aneka produk dan objek yang layak jual, baik untuk konsumen wisata lokal maupun internasional (mancanegara), Semua ada, mulai dari produk jasa hingga matrial.

Secara ekonomi, sebagaimana diungkap Wakil Ketua Umum BPD Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (HIPMI) Sumut Daniel Fernando Sinambela SH ketika berbicara soal UKM Pariwisata pekan lalu, nilai rata-rata belanja per turis di Sumut selama ini sudah menunjukkan prospek produk wisata Sumut yang cukup menjanjikan. Hal ini, antara lain tampak dari kisaran belanja Wisman yang mencapai USD 180 dolar atau sekitar Rp 1,7 juta per orang per harinya. Belanja itu masih meliputi pengeluaran standar rata-rata dengan kalkulasi menginap di kamar hotel selama dua malam di tempat berbeda (rata-rata Rp 500.000-an per malam), makan harian, ongkos di luar bus travel, dan belanja suvenir.

Sesungguhnya, potensi dengan transaksi ril itu, Sumut seharusnya layak untuk masuk bursa kemitraan usaha pariwisata di negeri ini. Tapi, entah kenapa, proyek pembinaan kepariwisataan yang dilakukan Ditjenpar Deparsenibud dan FT UGM Bandung itu, sama sekali tak mengikutsertakan Sumut. Padahal, di samping semua itu, Sumut hingga kini masih tercatat sebagai 10 besar destinasi penjaring dan peraup devisa pariwisata yang cukup besar di negeri ini.

Secara makro-ekonomi, Sumut punya potensi dana Rp 10 triliun lebih yang siap dikucurkan sebagai kredit usaha dari perbankan. Kalau 10 persennya saja bisa tersalur untuk pengembangan bisnis dan produk pariwisata melalui program kemitraan, paling tidak Rp 1 triliun bisa dikelola. Bayangkan saja, mau berbuat apa dengan dana sebesar yang ‘sekecil’ itu..Lalu, secara matrial-potensi, Sumut punya hampir 400-an objek kunjungan dan pelancongan yang tersebar di 19 kabupaten/kota pada 12 objek wisata andalan. Secara aksesibilitas, Sumut juga punya enam jaringan maskapai internasional atau nasional berskala internasional (Garuda, MAS, Pelangi, Silk Air, Air Asia, Jatayu) yang siap mengangkut para turis mancanegara ke Sumut secara reguler.

“Secara fisis Sumut juga memiliki aneka objek wisata pilihan (place of interest), yang beda dari daerah wisata lainnya. Ada pantai dengan hamparan pasir putih di Nias, ada perairan untuk memancing (fisghing) dan menyelam (diving) di Nias atau Pulau Berhala dan Pulau Poncan di Sibolga. Ada atraksi lompat batu setinggi hampir dua meter di Nias. Ada atraksi lomba perahu solu bolon di Danau Toba, ada Gua Bingung di Berastagi, ada Bukit Gundaling yang konon ceritanya merupakan bungkahan kepala Gunung Sibayak, ada peternakan buaya secara konvensional oleh pengelola individu Tan Mook, ada Istana Maimun yang merupakan simbol kejayaan raja atau Sultan Deli, dsb. Ada banyak lagi yang memang layak jual, dengan ataupun tanpa kemitraan..”, papar Jonathan. (M9/c).Rujukan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar